Kamis, 13 Februari 2014

Membiasakan Sedekah (Berbagi)

Kenal dengan Ust. Yusuf Mansur? Insyaallah kenal semua ya. kira-kira kalau disebut nama Ust tersebut yang terbayang di pikiran kita apa?, mudah-mudah an jawabannya tidak berbeda dengan saya, yaitu “Ustadz sedekah”. Hehehe. Sebutan tersebut biasanya sering dilontarkan oleh banyak orang karena keahlian ust muda tersebut dalam memotivasi pendengar / penonton nya agar lebih giat bersedekah. Bahkan, tidak jarang dalam ceramah-ceramah beliau penonton yang hadir pun “dipergok” untuk sedekah saat itu juga dengan barang berharga apapun yang dibawa nya. 

Bersedekah atau berinfak atau lebih entengnya lagi berbagi dengan sesama adalah hal yang sangat lazim dalam kehidupan manusia, kehidupan sosial. Bukan hanya karena itu perintah Allah yang disebutkan dalam Al-Quran, tapi memang berbagi adalah kunci suksesnya hidup bersosial. Dengan berbagi, kita banyak mendapatkan nilai-nilai dari kebakan hidup sosial, seperti misalnya: antara pembeli dan penerima jadi saling mengenal, dengan mengenal mereka bisa saling peduli, dengan peduli mereka bisa saling tolong menolong baik dibutuhkan atau tidak, bisa saling mengerti kondisi tetangga / saudara kita, dengan mengerti kondisi mereka dapat membuat kita tambah bersyukur atas nikmat-nikmat Nya. Tentunya, masih banyak nilai-nilai positif dalam kehidupan sosial yang bisa kita dapatkan dari berbagi tersebut. 

Apalagi, berbagi atau sedekah tersebut juga diperintahkan Allah SWT di dalam Al-Quran. Sangat banyak ayat Al-Quran yang menyatakan bahwa kita harus saling berbagi, diantaranya dengan kata-kata “... wa anfaqu mimma rozaqnahum...” yang artinya ‘...dan menginfaq-kan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka...’. 
Nah, dalam hal berbagi ini ayah mengajarkan kami tentang 2 hal. 

Berbagi itu bisa berarti memberikan yang terbaik yang kita miliki, atau bisa juga menghindarkan sesuatu yang mubazir atau berlebih-lebihan. Kalau berbagi itu memberikan sesuatu yang terbaik yang kita miliki, ini sudah hal yang sewajarnya dan sangat kita prioritaskan. Sebagai contoh, saat ingin membagikan sembako kepada saudara-saudara dan tetangga, saya disuruh ayah untuk membeli barang-barang sembako yang bagus, atau lebih ber merk lah. Pesan beliau “beli nya yang bagusan ya, yang agak mahal dikit gapapa”. Dan ternyata hal tersebut memang dianjurkan Allah di dalam Al-Quran, tepatnya di surat Al-Baqoroh ayat 267. Bunyi ayatnya begini, “... wa la tayammamul khobitsa minhu tunfiquna walastum bi akhidzihi illa an tughmidhu fiih...”, yang artinya “...janganlah kamu memilih yang buruk untuk dikeluarkan (infaq-kan), padahal kamu sendiri tidak ingin mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya ...”. 

Nah, model yang kedua dalam berbagi yaitu jangan membiarkan sesuatu yang kita miliki itu mubadzir. Hal ini berlaku dalam semua hal. 

Mubadzir itu sendiri maksudnya adalah sia-sia karena (biasanya) berlebihan. Terutama makanan, ini paling sering kita jumpai dibuang-buang padahal banyak orang yang butuh. Dan Allah sudah sering mengingatkan di beberapa ayatNya agar jangan berlebihan. Dan hal itu memang benar, bahwa berlebihan dalam apapun itu tidak baik, yang baik itu kalau pas. Saya ingat betul ucapan ayah saat kita sekeluarga sedang makan bareng-bareng di warung makan, kata beliau “emang ya, enak itu kalau sedikit, kalau banyak jadinya enek”. Maksud beliau adalah, kalau sesuatu itu kebanyakan jatuhnya jadi tidak enak, contohnya makanan, kalau kita kebanyakan jadinya tidak berasa nikmat lagi. 

Nah, berbagi dan tidak mubazir terutama dalam makanan ini sangat kental menjadi budaya di keluarga kami dan budaya tersebut telah dibiasakan oleh ayah sejak dahulu. Saya ingat betul kalau pohon rambutan lagi panen di kebun nya ayah, itu dipetikin semua, dimasukin karung, dan dibagiin dah ke semua saudara baik yang deket atau yang jauh. Malah, dulu waktu rumah kita masih di Mampang, semua anak-anak ayah kebagian nganterin buah ke tetangga dan saudara. Selain bagi-bagi buah, biasanya menjelang ramadhan ayah bagiin sembako juga, dan saat ramadhan biasanya bagi-bagi kurma ke saudara-saudara dan kadang juga ke masjid-masjid. 

Untuk urusan tidak mubazir, ayah paling getol sama masalah ini. Bisa dibilang hampir setiap malam kalau makanan di rumah tidak habis, pasti kita disuruh bagiin ke tetangga. Kalau dulu waktu di mampang, biasanya dibagiin ke orang-orang yang jaga di masjid al-hikmah. Kalau sekarang di pesantren, di bagiin ke tukang yang sedang bangun sekolah nya pesantren atau dikasih ke yang jaga di pos satpam. 

Pokoknya makanan apa aja yang berlebihan dan menyebabkan mubazir, daripada dibuang-buang lebih baik dikasih ke orang yang butuh. Kadang gorengan selesai pengajian, kadang juga sayur, lauk-lauk kaya ikan karena di rumah sangat sedikit yang suka makan ikan, dsb. Jadi, daripada mubazir kita buang-buang lebih baik dikasih orang yang membutuhkan, tapi hal ini berlaku selama makanan tersebut masih pantas untuk dikasih, dalam arti masih layak dan enak. 

Penekanan ayah agar tidak mubazir ini membuat kita jadi lebih hemat dan tidak menyebabkan kita easy going ke pasar. Karena ayah sering bilang “abisin dulu tuh makanan yang di kulkas, baru belanja lagi”. 

Pernah dulu, sekitar 2 tahun lalu saat ibu umrah bulan ramadhan selama kurang lebih 14 hari, kita di rumah tidak pernah belanja makanan. Kata ayah “kita habisin dulu isi kulkas, baru nanti belanja”. 
Nah, karena di kulkas sudah di stok bakso sama ibu, jadilah kita selama 2 pekan itu makan yang berbau bakso. Dari mulai bakso di goreng, di rebus, di campur mie, di campur nasi goreng, dsb. Sampai akhirnya semua isi kulkas bisa dimanfaatkan dan baru kali itu aku lihat kulkas lebih bersih dari biasanya karena isinya sudah tidak dipenuhi oleh makanan-makanan, terutama di freezer. Alhamdulillah, jadi tidak mubazir. 

Bahkan kemaren waktu awal puasa, ibu pernah minta dianterin ke pasar tapi tidak jadi berangkat karena diomelin ayah. Jadi ceritanya begini, kita kan tinggal di pesantren jadi dapat makanan dari dapur pesantren, tinggal masak nasi saja, tapi karena ibu takut anak-anak tidak nafsu makan jadi beliau masak tambahan lauk atau sayur agar lebih nafsu. Karena memang dari pesantren kan tidak bisa se suka hati kita, tapi menyesuaikan jadwal menu nya pesantren. Nah, karena sering masak itu lah jadi makanan di rumah sering tidak habis, bahkan banyak yang sisa. Mungkin karena saking peduli nya ibu sama anak-anak jadinya masaknya enak dan banyak, walhasil makanan pesantren tidak dimakan, masakan ibu juga tidak habis. Akhirnya, banyak makanan yang mubazir, nah ayah paling marah kalau sudah begini. Nah, karena alasan itu lah ayah marah saat ibu minta belanja ke pasar, kata ayah begini “umi tuh tanya dulu ke anak-anak, perlu masak lagi enggak? Karena makanan ga pernah abis”. Setelah bilang itu, ayah langsung tanya satu-satu ke anak-anak. Aku ingat betul, itu pagi-pagi di hari pertama puasa dan saat ditanya aku masih setengah tidur lalu aku jawab “ga perlu bi, udah cukup dari pesantren aja”. Dan ternyata semua anak-anak menjawab hal yang sama. Akhirnya, ayah sindir ibu dengan “nah, umi denger kan apa jawaban anak-anak?”. Dan ibu pun hanya mengangguk lalu jalan kembali masuk ke kamar tanda belanja nya tidak jadi. Cerita diatas sebagai contoh bahwa ayah begitu tegas dengan urusan tidak mubazir. 

Sahabat, mumpung masih ramadhan nih. Kita maksimalin pemberian kita untuk orang-orang yang membutuhkan dan jangan biarkan setan bergembira karena ke-mubadziran kita, terutama dalam hal makanan saat buka dan sahur. Semoga sekelumit tulisan ini membuat kita lebih peka lagi pada berbagi dan tidak mubazir. Aamiin. 

Sebagai penutup, saya ingin mengutip salah satu ayat di surat Ali-Imran tentang berbagi ini, tepatnya di ayat 133 dan 134. 
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan Tuhan mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertaqwa. Yaitu, orang yang berinfaq baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan orang lain...” 

Dalam ayat tersebut, betapa orang yang berbagi itu diberi ganjaran setinggi-tingginya oleh Allah, yaitu surga. Selain itu, berbagi ternyata merupakan ciri dari orang yang bertaqwa. Dan, ayat tersebut tidak menganjurkan kita berbagi dikala punya saja, tetapi dikala punya ataupun tidak. Bahkan dalam sebuah hadist tentang berbagi untuk buka puasa, yang kurang lebih isinya begini: saat Rasul SAW menganjurkan untuk memberi makan orang yang berbuka lalu sahabat yang tidak punya bertanya, bagaimana dengan kami yang tidak punya ya Rasul? Lalu, jawaban Rasul adalah ‘berbagi lah, walau dengan sebiji kurma’. Nah, bayangin dah tuh, saat Rasul ditanya ternyata jawaban beliau bukan ‘ya sudah lah kalau kamu ga mampu gapapa’. Bukan itu jawaban beliau, tapi ‘berbagilah walau dengan sebiji kurma’. Ini menegaskan bahwa Rasul itu sangat menganjurkan kita untuk berbagi terutama untuk berbuka puasa dengan apapun yang kita punya, walaupun Cuma sebiji kurma. Ini juga mengartikan bahwa, dalam bulan ramadhan, berbagi itu sebisa mungkin dilakukan oleh semua elemen masyarakat baik yang mampu ataupun yang tidak, tinggal disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Ibaratnya nih, kalau kita buka puasa bareng, semua elemen berperan. Mungkin ada yang nyumbang es batu aja, ada yang bisa sirup doang, mungkin juga ada yang kurma nya aja, dan bisa jadi juga ada yang nyumbang semua lauk pauknya, dsb. Istilahnya, saling tolong menolong dalam berbagi. Jangan ditutup sedekah dari satu orang saja, tapi dibuka seluas-luasnya, semampu si pemberi. 

Semoga dengan ini kita terbiasa memberi, terbiasa tidak mubazir, dan semoga Allah berikan kita hidayahNya untuk istiqomah dalam berbagi. Aamiin. 

Allahumma ati nufusana taqwaha. Ya Allah jadikan lah jiwa-jiwa kami yang bertaqwa. Aamiin.

Selamat berbagi dan selamat tidak mubazir. 

(muh) 
Serpong, 16 Juli 2013

Tidak ada komentar: