Kamis, 13 Februari 2014

Membangun Negara Islami

Sekelumit tulisan ini lahir dari dialog singkat yang akhirnya saya mengerti pertanyaan sederhana ini, “Apa yang dimaksud dengan negara islam itu?”. Jawaban pertanyaan itu merupakan sebuah kesimpulan yang lahir dari subjektivitas pemikiran saya ketika berdialog singkat dengan ayah tercinta. Walaupun dialog singkat itu terlintas begitu saja saat saya sedang makan siang sambil menonton channel TV Al-Jazeera milik arab saudi. Tapi, dialog singkat itu seakan-akan telah membentuk pola pikir baru untuk saya, pola pikir yang selama ini saya anggap bertentangan dengan pemikiran kebanyakan orang, juga kebanyakan tokoh dan alim ulama negeri kita. 

Dialog itu aku mulai dengan pertanyaan berikut, bagaimana sistem pemilihan gubernur provinsi di arab saudi yang sistem pemerintahannya adalah kerajaan?. Beliau menjawab, “di Arab Saudi, gubernur diangkat dan diberhentikan oleh raja, tidak dipilih oleh rakyat sebagaimana di negara kita. Lalu pengawasannya bagaimana? Nah, di tingkat daerah ada pemilihan anggota dewan sehingga mereka pun memiliki DPRD. Tetapi tidak memiliki DPR pusat. Peran DPR pusatnya dipegang oleh Majelis Syuro yang merupakan orang-orang ahli yang juga diangkat oleh raja” 

Pertanyaan pun mengalir dari benakku lagi, lalu bagaimana dengan anggapan orang-orang bahwa Arab Saudi merupakan negara islam?. Beliau pun menjawab, “memang, para ulama disana sudah mengakui bahwa nilai-nilai dan aturan al-quran sudah diterapkan. Hanya saja peraturan tersebut seakan ketat dibawah (rakyat) tapi longgar diatas (penguasa). Salah satu penyebabnya ialah majelis syuro / orang terpilih tersebut ada yang tidak bersikap netral / adil, sehingga agak ‘sungkan’ untuk menegur / menghukum si pemilihnya. Harusnya majelis syuro itu bersikap netral dan tidak pandang bulu pada siapa saja ketika dia menegakkan hukum Allah, termasuk pada orang yang memilih ia menjadi majelis syuro”. 

Aku melanjutkan pertanyaan, nah Arab Saudi kan sistemnya kerajaan, sama dengan pemerintahan islam dahulu, apakah itu adalah sistem pemerintahan baku menurut islam? Bahkan sebagian orang beranggapan bahwa kita harus kembali pada sistem khilafah, bagaimana?. Dengan kritis beliau menjawab, “Arab Saudi memang sistem pemerintahannya adalah kerajaan, yang kekuasaan itu diserahkan kepada keturunannya atau keluarganya. Nah, kalau kita telusuri awal mulanya sistem pemerintahan, Rasul SAW sebenarnya tidak mencontohkan / memerintahkan secara eksplisit kepada ummatnya bagaimana sistem pemerintahan itu?. Bahkan beliau SAW tidak menginstruksikan atau lebih tepatnya tidak memberi pesan khusus (sebelum wafat) kepada para sahabat bagaimana sistem pemerintahan setelahnya? Karena memang beliau SAW tidak memberikan wasiat tentang itu. Nah, pasca wafatnya Rasul SAW para sahabat berembuk, bermusyawarah, untuk mencari pengganti peran Rasul SAW dengan membentuk Ahlul Halli wal ‘Aqdi, yaitu sekumpulan orang ahli yang mampu menyelsaikan masalah dengan mengambil keputusan terbaik. Dari forum itulah lahir seorang khalifah. Khalifah itu sendiri bukan lah seorang penguasa, tapi sebagai pengganti peran Rasul SAW dalam menegakkan hukum-hukum Allah secara adil. Jadi, sebenarnya masalah utama ialah ‘bukan pada sistem pemerintahannya melainkan pada peran menegakkan hukum Allah secara adil’. 

Oleh karen itu, tidak penting dan bukan hal yang essensial apa itu pemerintahannya, bagaimana sistemnya, yang terpenting peran penegakkan hukum Allah”. 

Pertanyaan ku pun berlanjut, apakah sistem khilafah yang berupa keturunan keluarga / kerajaan seperti zaman muawiyah, utsmani, dsb, merupakan faktor utama suksesnya islam dahulu?. Beliau menjawab, “faktor sukses nya islam itu bukan karena sistem pemerintahannya tapi bagaimana raja tersebut bersikap adil dalam menegakkan hukum Allah. Karena, ada raja yang sukses ada juga yang tidak sukses. Ada raja yang adil, ada juga yang tidak adil. Sebagai contoh raja abdul aziz, beliau adil dalam menegakkan hukum Allah bahkan beliau sampai dijuluki khalifah ke 5 setelah ali. Jadi, semua itu tergantung pada bagaimana sikap raja tersebut dalam menegakkan hukum Allah? Bukan pada sistem pemerintahannya. Karena yang esensial itu pada adil atau tidaknya dan hukum Allah itu ditegakkan atau tidak?, bukan pada sistemnya. 

Dan perlu dicatat, bahwa khalifah yang 4 itu bukanlah sistem keturunan tetapi dipilih oleh tim musyawarah para sahabat yang ahli.” 

Lalu, saya pun mengakhiri dialog dengan pertanyaan berikut, jadi apa yang dimaksud dengan negara islami?. Beliau menjawab, “negara islami adalah negara yang masyarakatnya muslim lalu masyarakat muslim tersebut menegakkan dan menjalankan hukum-hukum Allah, menjalankan segala perintah Nya dan menjauhi segala larangan Nya, apapun sistem pemerintahan negara tersebut. Mau dia negara demokrasi, kerajaan, dsb.” 

Mendengar jawaban tesebut aku hanya bisa berkata “ooohhh”. Jadi itu sebenarnya inti dari perjuangan negara islam. Lalu mengapa kita disibukkan dengan pertanyaan dan perdebatan tentang: bagaiaman pemerintahan yang dianut islam? Apakah kerajaan itu pemerintahan islam? Atau, haruskah kita kembali pada sistem pemerintahan khilafah? Bahkan, Bagaimana dengan sistem demokrasi yang sebagian orang mengatakan itu haram?. Dan berbagai pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sebenarnya itu bukanlah hal essensial yang harus kita perjuangkan dalam kehidupan ini. Yang essnsial (penting) kita perjuangkan adalah “Apakah kita sudah paham dengan aturan2 / Hukum Allah? Jika sudah, apakah kita sudah berusaha menegakkannya? Apakah kita sudah melaksanakan perintah Nya dan menjauhi larangan Nya?” 

Setelah dialog selesai aku pun jadi berpikir lagi, lalu mengapa kita jadi sering berdebat hal-hal yang tidak penting?. Dengan dialog ini pola pikir ku terhadap negara islam pun jadi lebih terbuka dan intinya adalah kita harus berpikir untuk memperjuangkan hal-hal yang penting, bukan lagi berpikir untuk berdebat hal-hal yang sebenarnya tidak penting. Mungkin secara sederhana, konsep negara islam ini perlu kita kembalikan pada diri kita dengan pertanyaan sederhana berikut: apakah kita muslim? Jika ya, sudahkah kita sholat 5 waktu berjamaah tepat pada waktunya? Sudahkah kita membaca Al-Quran dan berusaha memahaminya? Jika ya, sudahkah kita berusaha menegakkan apa yang kita pelajari dari Al-Quran tersebut? jika ya, sudahkah kita menegakkannya secara adil?, dsb. 

Semoga sekelumit pertanyaan tersebut membuka pola hidup kita dan sekelumit tulisan ini mampu merubah pola pikir kita agar tepat dalam berjuang bukan hanya sekedar berjuang. Dalam dunia ini, banyak hal yang perlu diperjuangkan, tapi jangan sampai apa yang kita perjuangkan ternyata bukan lah hal-hal yang urgensinya tinggi. Kepada para pembaca, selamat berjuang! 

Seperti pembuka tulisan ini, bahwa tulisan ini lahir dari subjektifitas saya pribadi yang timbul dari hasil dialog dengan ayah tercinta. Jika setuju ya silahkan jika tidak setuju juga silahkan. Tak perlu kita perdebatkan, karena toh seperti penjelasan diatas bahwa perdebatan kita bukan lah hal yang penting jika berkaitan dengan ini. Setiap orang punya pandangan terkait hal ini dan dalam negara demokrasi setiap orang berhak berpendapat. Tapi, sekali lagi, berpendapat lah yang tepat sehingga tidak memunculkan perdebatan yang tidak penting. Dalam hidup, kita harus pandai-pandai melihat dan menjalankan skala prioritas, yang terpenting lah yang kita dahulukan. Sekali lagi, selamat berjuang! 

Serpong, 27 April 2013 
(muh)

Tidak ada komentar: