Jumat, 26 Agustus 2011

Renungan Siang Ini

Pernahkah kita berhenti sebentar saja dari segala aktivitas yang padat ini untuk merenung dan berpikir barang sejenak saja. Merenungkan apa yang terjadi disekitar kita. Cobalah tengok pepohonan yang ada didepan pandangan kita, atau bunga-bunga kecil yang selalu hadir di taman rumah kita, atau lihatlah pada buah-buahan yang sering kali jatuh dihadapan kita. Pernah kah kita berpikir akan hal itu? Mungkin bagi kalian (orang-orang yang terlalu sibuk akan aktivitas dunia ini) tidak ada manfaatnya merenungi hal-hal kecil seperti itu, atau mungkin hanya membuang waktu saja. Tapi pernahkah kau hayati siapa yang mengatur jatuhnya dedaunan? Atau, siapakah yang mengetahui setiap daun dan biji yang jatuh dari pohonnya? Tidak lain, Dialah Allah, Sang Khaliq.

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”
QS. Al-An’am: 59


Maha Besar Allah yang mengetahui segala kejadian sekecil apapun itu. Dia lah yang mengetahui kapan daun itu harus jatuh, kapan buah itu harus jatuh, dimana letak jatuhnya, dan berbagai detail informasi daun tersebut.

Menggali Sunnah I’tikaf

I’tikaf sebagaimana yang kita ketahui pada umumnya yaitu berdiam diri di masjid. Sebenarnya bagaimana anjuran beri’tikaf, dalilnya, dan mengapa kita harus I’tikaf? Kira-kira pertanyaan-pertanyaan itulah yang nantinya akan kita urai dalam tulisan ini.

Rasululllah SAW diperintahkan oleh Allah untuk berpuasa di bulan Ramadhan pada tahun 2 Hijriyah dan mulai tahun tersebut Rasul SAW menjalankan kewajiban berpuasa. Itu artinya Rasulullah SAW menjalani puasa Ramadhan sebanyak 9 kali hingga beliau wafat di tahun ke 10 H dan setiap 10 hari terakhir beliau tidak pernah meninggalkan yang namanya I’tikaf. Bahkan didalam hadist shohih dijelaskan bahwa Rasul SAW di Ramadhan yang terakhirnya i’tikaf di masjid selama 20 hari terakhir. Walaupun dalil yang menjelaskan tentang fadhilah i’tikaf tidak ada, hal ini bukan berarti hanya berlaku bagi rasul saja (seperti memiliki 9 istri) melainkan berlaku bagi kita juga dan bahkan Rasul mengajak para istri dan sahabatnya. Bahkan para fuqoha berpendapat bahwa i’tikaf memiliki keistimewaan yang luar biasa, karena salah satu sunnah (perintah) yang tidak dipancing melalui dalil-dalil yang menjelaskan keutamaannya (fadhilah), tidak seperti sholat dhuha atau sholat tahajjud yang merupakan sunnah yang dipancing pake dalil2 tentang fadhilah nya. Sekali lagi, bahkan Rasul SAW tak pernah sekalipun meninggalkan yang namanya i’tikaf di 10 hari terakhir Ramadhan sepanjang hidup beliau.

“...Wa antum ‘akifuna fil masajid...” yang artinya: ..sedang kamu beri'tikaf dalam masjid..
QS. Al-Baqoroh: 187
Kata ‘Antum’ berarti mukhotob (lawan bicara jama’) dan jika mukhotob itu tertuju pada laki-laki maka berlaku juga untuk perempuan seperti pada ayat berikut: “...Kkutiba ‘alaykumu sshiyam...” yang artinya: .. diwajibkan atas kamu berpuasa..QS. Al-Baqoroh: 183. Kata ‘alaykum (atas kamu) tertuju pada kata ganti laki-laki tapi puasa berlaku untuk semua baik laki-laki maupun perempuan.
Kata ‘akifuna para ahli tafsir menjelaskan bahwa itu berarti ‘mereka selalu beri’tikaf’. Karena kata tersebut tidak menggunakan ya’takifuna yang bisa dimaknai kadang i’tikaf kadang juga tidak. Dan diakhir kalimatnya menggunakan fil masajid yang berarti jama’, dilakukan di masjid-masjid. Bukan hanya di satu masjid nabi saja. Jadi, hal ini berlaku untuk semua ummat islam.
Jadi, i’tikaf itu dilakukan bersama-sama di masjid-masjid dan selalu dilakukan ketika di zaman Rasul SAW baik oleh Rasul, keluarganya, dan para sahabatnya.

Nah, sebenarnya apa esensi dari I’tikaf? Apakah bermalam saja di masjid? Atau seharian selalu dimasjid? Atau bagaimana?. Memang, baiknya 10 hari terakhir Ramadhan kita habiskan waktu-waktu kita di masjid baik dari sahur sampai sahur kembali, itu idelanya. Tapi, paling tidak esensi i’tikaf bisa kita dapat. Yaitu intishoru ssholah ba’da ssholah. Menunggu datangnya sholat fardhu setelah melaksanakan sholat fardhu (dengan beribadah). Misal, kita sholat zuhur kemudian sambil menunggu asar kita berdiam di masjid sambil beribahdah. Sebaiknya selalu dalam kondisi berwudhu.

Keutamaan orang yang menunggu sholat fardhu setelah sholat itu seperti Ribath, yang dijelaskan di surat Al Imran ayat terakhir. Yaitu seperti para mujahid yang berjaga-jaga di perbatasan perang. Bayangkan, orang yang berada di perbatasan perang itu kalo diserang musuh kemungkinannya dia yang kena tembak lebih dulu, artinya dia yang berpeluang besar mati syahid lebih awal. Dan kita tahu sendiri, jihad itu punggungnya agama dan orang kategori ini lah yang sangat berpeluang berjihad bahkan syahid lebih awal. Intinya, paling tidak jika kita tidak bisa penuh seharian di masjid maka kita habiskan waktu kita untuk menunggu sholat fardhu dengan beribadah. Lebih baik lagi kalau seharian terutama mengambil waktu malam.

Yang berikutnya, bagaimana kita maksimalkan 10 hari terakhir kita? Dalam sebuah hadist riwayat Bukhari dijelaskan bahwa Rasul SAW apabila telah memasuki 10 hari terakhir, beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, dan mengencangkan ikat pinggangnya.
Nah, jangan sampai kita salah memaknai hadist tersebut. Yang dimaksud menghidupkan malamnya, ialah dengan beribadah entah tilawah maupun qiyamullail (termasuk tarawih). Bukan berarti menghidupkan malam dengan jalan-jalan, belanja, apalagi ngobrol-ngobrol sampai larut pagi.

Selain itu, beliau juga membangunkan keluarganya, tidak ingin hanya mendapat pahala sendirian. Nah, disinilah peran dakwahnya, termasuk juga kita. Sebisa mungkin kita bangunkan saudara/i kita, kawan-kawan kita, teman seperjuangan termasuk panitia juga, dsb. Agar mendapat keutamaan-keutamaan pahala bersama-sama, tidak sendiri2. Masa masuk surga sendirian? Bukan aktivis dong.

Dan yang terakhir, Rasulullah SAW mengencangkan ikat pinggangnya. Ikat pinggang itu bisa dikencengin kalo kondisi perut tidak berlebihan (kenyang) agar ibadah bisa khusyu’. Karena kalo kenyang kita jadi cenderung ngantuk, males, dan tidak khusyu’.

Dan yang paling penting, mengapa kita harus i’tikaf di 10 hari terakhir yaitu karena agar kita mendapatkan malam lailatul qadr, malam yang sangat mulia, malam yang setara dengan 1000 bulan atau sekitar 83 tahun, umur kita saja belum tentu sampai segitu. Bukan hanya mendapatkan tapi memaksimalkan malam tersebut dengan ibadah. Dalam sebuah hadist dikatakan bahwa ‘man qoma lailatal qadri, imanan wahtisaban ghufiro lahu ma taqoddama min dzanbih’ yang artinya: barang siapa yang mendirikan malam lailatul qadr dengan penuh keimanan dan kesungguhan maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu maupun yang akan datang. Dan dalam hadist lain dikatakan ‘carilah malam lailatul qadr itu di 10 hari terakhir Ramadhan’.

Nah, sangat disayangkan kalo kita melewati malam lailatul qadr dengan tidak maksimal apalagi dengan sia-sia, hanya terlelap tidur di rumah gara-gara terlalu sibuk belanja, apa lagi sibuk perjalanan mudik, sehingga kita melewati malam yang sangat-sangat mulia sekali. Dengan i’tikaf, kita bisa maksimalkan malam-malam kita di masjid dengan ibadah, tilawah quran, qiyamullail. Karena dimasjid manusia cenderung inginnya beribadah, karena memang masjid tempat beribadah dan di masjid cenderungnya ramai dan suasana tsb yang menyemangati kita untuk beribadah, belum lagi kalau ada kegiatan plus-plusnya entah buka dan sahur gratis, kajian subuh, dsb. Beda kalo kita di rumah, apalagi di kos, cenderungnya malas, nonton tv, nonton bola, nonton OVJ, apalagi sampai ngegame dan melakukan hal-hal yang sia-sia lainnya. (semoga kita tidak termasuk di dalamnya).

Untuk memaksimalkan doa kita dimalam lailatul qadr, ada hadist yang intinya sebagai berikut: Aisyah radiyallahu anha bertanya pada Rasulullah SAW, seandainya aku mengetahui malam ini malam lailatul qadr, apa yang harus saya lakukan?, Rasul menjawab: katakanlah “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fuanni”. Ya Allah, sesungguhnya engkau maha pemaaf, mencintai saling memaafkan, oleh karena itu ampunilah dosa-dosa ku.

Sebagai akhir penutup tulisan ini, mari kita bangun komitmen kita sebagai aktivis dakwah yang seperti nabi zakariya, yusari’una fil khairat, bersegera dalam kebaikan. Sebagai aktivis dakwah, harusnya kita menjadi teladan, contoh, dan penyemangat sekitarnya dalam beribadah, apalagi ini di 10 hari terakhir bulan ramadhan. Begitu banyak keutamaan-keutamaan diwaktu tsb, jangan sampai kita selaku aktivis menjadi orang yang tidak bisa apalagi tidak paham kesempatan dan keutamaan tersebut. Ciri utama aktivis yang sukses ialah, yang terlihat perubahan yang lebih baik pada dirinya sendiri. Dan itulah ciri utama dakwah, kita pun harus berubah kearah yang lebih baik, memulai kebiasaan-kebiasaan baik yaitu sunnah Rasul SAW. Ayo, kita mulai budaya I’tikaf untuk memaksimalkan ibadah di 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Jangan sampai kita beralasan tidak i’tikaf karena sibuk, apalagi sibuk belanja dan mudik. Padahal Rasulullah tidak pernah meninggalkan i’tikaf sepanjang hidupnya. Dan ingatlah kawan, Rasulullah orang yang super sibuk, kepala negara, kepala pemerintahan, nabi dan rasul, panglima perang, aktivis dakwah, contoh dan teladan, memiliki keluarga besar, 9 istri, anak dan cucu, bahkan beliau sudah cukup tua ketika menjalan kan ibadah ini pada usia 50 an. Masihkah layak kita bilang diri ini sibuk? Sehingga tidak bisa i’tikaf? Jika ya, berdoalah sama Allah agar diberi kekuatan untuk bisa sibuk tapi tetap bisa i’tikaf.

DQ Mulia, 21 Agustus 2011, 22 Ramadhan 1432 H.

AKU INGIN BANGSA INI ‘MERDEKA’

Agustus dan merdeka. Ya, itulah sepasang kata yang tak mungkin terlupakan oleh bangsa Indonesia, termasuk kita. Entah tak terlupakan karena sejarahnya, atau karena peringatannya, atau karena lombanya, atau mungkin karena tanggal merahnya. Menurut ilmu sejarah, tepat tanggal 17 Agustus 1945 bangsa ini merdeka dari para penjajah yang telah ratusan tahun membudakkan bangsa ini. Itu artinya sudah 66 tahun bangsa ini seharusnya merdeka. Tapi apakah bangsa ini benar-benar sudah merdeka?, monggo dijawab sendiri kawan...

Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia merdeka berarti bebas, lepas dari tuntutan, dan tidak terikat. Dalam aplikasinya memiliki arti bahwa bangsa ini mampu mandiri dalam segala hal termasuk mandiri dalam sikap (attitude) atau perilaku (akhlaq) dan inilah hal terpenting bagi bangsa ini yaitu akhlaq yang mandiri yang harus kita pertanggungjawabkan sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Karena akhlaq adalah dasar dari terciptanya negeri yang baik, negeri yang diberkahi Allah karena nilai ketaqwaan dan keimanan bangsanya.

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
QS: Al – A’raaf: 96

Mungkin tahun ini menjadi fenomena yang unik karena tanggal 1 Agustus bertepatan dengan tangal 1 Ramadhan. Benar-benar fenomena langka. Bahkan banyak orang yang beranggapan bahwa 17 agustus bertepatan dengan nuzulul quran yaitu 17 Ramadhan, walaupun saya kurang setuju dengan pendapat itu karena alqur’an diturunkan pada malam lailatul qodr (QS: Al-Qodr: 1) dan kebanyakan ulama sepakat bahwa lailatul qodr berada pada hari-hari ganjil di 10 malam terakhir Ramadhan. Tapi, bukan ini bahasan kita kawan...

Nah, dibalik semrautnya negeri ini, ada fenomena unik yang setiap tahun selalu berulang seakan-akan kita mersakan sesuatu yang berbeda bahkan sangat berbeda dari sebelumnya atau saya sebut dengan mendadak merdeka. Ya, itulah fenomena yang terjadi karena adanya Ramadhan. Negeri ini seakan-akan mendadak merdeka, mungkin benar-benar kondisi bangsa yang merdeka berdasarkan iman dan taqwa.

Yang pertama yaitu fenomena mendadak Masjid Rame. Entah mengapa tepat tanggal 1 Ramadhan, lebih tepatnya saat sholat isya semua masjid akan mendadak sangat ramai dengan jama’ah sholat. Padahal sehari sebelumnya munkin tidak sampai sepersepuluh jumlah jama’ah pada waktu itu. Bisa kita lihat di masjid manarul ilmi ITS, hari biasa jama’ah isya paling banyak hanya 2 shaf putra dan mungkin 1 shaf putri. Tapi sejak masuknya hari pertama Ramadhan masjid ini mendadak membludak bisa sampai 7 shaf ikhwan, itupun belum ditambah akhwatnya. Bahkan sholat teraweh seakan-akan menjadi sunnah yang kita tidak mau kita meninggalkannya. Tidak hanya itu, saat hari aktif kerja masjid sangat ramai saat sholat zuhur dan bahkan para dosen dan karyawan terlihat begitu tergesa-gesa dan berbondong-bondong ingin mendatangi masjid seakan akan tak ingin ketinggalan sholat wajib. Luar biasa kawan, semoga kita termasuk didalamnya. Ini adalah berkah Ramadhan yang sangat sulit kita menemuinya diwaktu lain. Seandainya ini terus dipertahankan insya Allah kita semua akan termasuk calon penghuni surga dengan ciri utama mencintai masjid.

Fenomena kedua yaitu mendadak Saling Mengingatkan dan Enggan Berbuat Maksiat. Dengan berpuasa kita mulai tidak sungkan menegur dan bahkan menjauhi kebiasaan-kebiasaan buruk kita. Sebagai contoh, orang yang biasanya merokok, dia akan berusaha menghindarinya ketika berpuasa. Pun tidak, maka teman-teman disebelahnya akan mengingatkannya “eh, lagi puasa sob.. jangan ngerokok”, seandainya kepepet pun mereka melakukan maksiat dengan tidak mengajak kawan-kawan lainnya (menyendiri). Atau orang yang terbiasa pacaran mungkin akan mengurangi jam maksiatnya dan bahkan mereka malah saling mengingatkan untuk sahur, sebuah hal kebaikan yang langka. Semoga itu termasuk tawashou bil haq. Fenomena tersebut seakan-akan membuat maksiat berkurang drastis di negeri ini. Belum lagi ceramah-ceramah nasihat yang berkumandang dihampir setiap ba’da sholat kita, bahkan melalui berbagai media seperti TV dan radio. Seakan-akan itu menjadi pengingat sekaligus penyemangat bagi kita untuk amar ma’ruf nahi munkar. Semoga ini juga terjadi pada para politisi kita agar saling mengingatkan dan mengurangi jam korupsi dan kolusinya yang sangat merugikan bangsa ini. Amin...

Fenomena langka berikutnya yaitu mendadak Rajin Ibadah. Allahu akbar, ini sangat langka sekali kawan. Dimana-mana lantunan ayat suci Al-Quran berkumandang terutama disetiap sudut masjid. Seakan-akan khataman Al-Quran tak mengenal waktu, pagi, siang, sore, bahkan malam hari setiap masjid tak henti-hentinya menggemakan ayat suci ini. Bahkan pernah suatu ketika saya menghadap ke ruang dosen untuk asistensi dan ternyata dosen tersebut sedang membaca Al-Quran. Allahu karim, sungguh indah hidup ini. Selalu bertemu dengan Al-Quran seakan-akan tak ingin kita meninggalkan firman Allah yang mulia itu.Terlebih lagi, hampir setiap orang ingin khatam Al-Quran paling tidak 1x dibulan suci ini. Seandainya kita hitung-hitung, asumsi muslim di negeri berjumlah 200 juta orang dan setiap orangnya ingin khatam Al-Quran 1x sebulan, maka satu bulan sudah 200 juta kali khatam, berapa kalau setahun? Mungkin bisa diusulkan ‘gerakan 1 milyar khatam Al-Quran’. Jika benar-benar seperti itu, mungkin negeri ini akan memiliki julukan ‘negeri qurani’. Andai fenomena ini terus kita jaga, maka bangsa ini akan menjadi bangsa Qurani, bangsa yang mencintai Al-Quran, dan selalu mengaplikasikan hidupnya berdasarkan nilai-nilai Al-Quran. Ya Rabb, semoga bangsa ini menjadi bangsa yang mulia di dunia dan di sisiMu.

Fenomena keempat yaitu mendadak Dermawan / Berinfaq. Bulan berkah ini benar-benar menjadi berkah untuk seluruh pelosok negeri. Seakan hidup ini sangat seimbang, yang kaya murah sedekah, yang mampu ingin bersedekah, dan yang tidak mampu bisa menikmatinya. Dimana-mana orang ingin berinfaq bahkan dengan fastabiqul khairat. Tidak ingin ketinggalan dengan tetangganya. Bahkan tidak sedikit yang berinfaq puluhan juta. Bahkan salah satu donatur ifthor jama’i (buka puasa bersama) di Masjid Manarul ilmi ITS menginfaqkan hartanya sebesar 1 juta setiap hari selama satu bulan dan itu konsisten beliau lakukan setiap tahun. Semoga Allah melipatgandakan pahala bagi beliau dan keluarganya. Fenomena ini seakan-akan membuat negeri ini negeri yang mengutamakan kekuatan sosial, seperti subsidi silang dari non pemerintah. Momen ini Benar-benar menunjukkan bahwa manusia memiliki jiwa sosial yang tinggi.

Dan yang terakhir yaitu fenomena Meningkatnya Ekonomi. Bulan Ramadhan benar-benar menjadi bulan dengan tingkat ekonomi atau perputaran uang yang sangat tinggi. Sebagai contoh saja, panitia Ramadhan di masjid kampus ITS selama satu bulan menghabiskan uang sekitar 150 juta rupiah. Itu baru dari satu masjid kawan, berapa masjid di Surabaya? Berapa kampus di Indonesia? Berapa masjid se Indonesia? Luar biasa kawan, itu baru dari perputaran uang kegiatan Ramadhan. Belum lagi uang mudik, hampir setiap orang di negeri baik muslim maupun non muslim pasti tak meninggalkan mudik. Apakah mudik tidak butuh uang? Kalau 1 orang mnghabiskan uang untuk mudik 200 ribu, berapa jumlah orang di Indonesia? Berapa total pengeluaran untuk mudik? Bahkan jam terbang transportasi tertinggi ada di saat mudik, entah itu pesawat, kereta, bis, dsb. Ada contoh lain yang lebih heboh lagi, apakah lebaran kita memakai baju lama atau baru? Berapa harga satu setel baju baru? Apakah setiap orang hanya punya satu setel? Iya, saya kira anda lebih pandai menjawabnya. Karena kita semua termasuk yang ingin menunaikan Iedul fitri dengan segala hal yang baru, hati yang baru, dan pastinya pakaian baru, termasuk sendalnya pun baru.

Itulah fenomena dahsyat kawan... tapi, apakah kalian tidak heran? Kira-kira mengapa hal itu bisa terjadi sobat? Mengapa kok bangsa ini bisa berubah dalam sekejap? Hanya selang sehari bisa berubah total?. Kawan, tak lain dan tak bukan karena bangsa ini masih memiliki iman kepada Rabb semesta Alam. Kita semua masih punya iman terhadap firman-firmanNya. Iman itulah yang menggerakkan kita, iman itulah yang benar-benar bisa merubah kita, iman itulah yang sebenarnya bisa memacu dan memotivasi diri kita, iman itulah yang bisa merubah segalanya, bukan karena dibuat-buat. Kita masih beriman bahwasanya kita wajib berpuasa dibulan Ramadhan, kita masih beriman bahwa Allah melipatgandakan amal-amal ibadah kita di bulan mulia ini, kita masih percaya terhadap rasul kita yang karenanya kita masih setia mengikuti dan menjalani sunnah-sunnahnya.

Beruntunglah kita yang masih hidup dan masih memiliki iman. Dan saat ini iman tersebut sedang berada pada kondisi puncak yaitu kondisi sabiqun bil khairat, orang-orang yang lebih dulu berbuat kebaikan. Semoga kita termasuk kategori tersebut. Semoga kita tetap dalam keadaan beriman dengan keimanan puncak hingga meninggalkan dunia ini. Mari kita bersyukur dengan mengucap Alhamdulillah... Begitulah jika bangsa ini merdeka karena iman dan taqwa.

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.
QS: Faathir: 32

Pertanyaan berikutnya ialah, sudahkah bangsa ini merdeka karena iman dan taqwa? Apakah kita hanya merdeka di bulan Ramadhan saja? Apakah bangsa ini tidak bisa benar-benar merdeka karena iman dan taqwa?. Nah, itulah tugas kita kawan... tugas mulia yang Allah berikan kepada para Rasulnya, kepada khataman nabiyyin Muhammad SAW, yang dilanjutkan oleh para sahabatnya, yang perjuangannya masih terus tegar dijalankan oleh tabi’in dan tabi’it tabi’in, dan hingga amanah itu datang kepada kita, para aktivis dakwah. Itulah misi yang kita emban, bukan kah kalian sudah sering mendengar masyarakat madani? Begitulah masyarakat madani yang kita dambakan, negeri yang merdeka berlandaskan iman dan taqwa. Masyarakat madani yang sering kita ibaratkan seperti baldatun thoyyibatun di dalam Al-Quran Bukan kah itu dambaan kita bersama kawan? Aku ingin bangsa ini merdeka karena iman dan taqwa.. Maka dari itu beruntunglah aktivis dakwah, kalian tak akan pernah nganggur, karena kalian terus berpikir dan bekerja untuk mewujudkan masyarakat madani, masyarakat yang merdeka berlandaskan iman dan taqwa.

Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun."
QS: Saba’: 15

Semoga Allah menguatkan barisan dakwah ini, semoga Allah menambah kekuatan dan membuka pintu hidayahnya untuk bangsa ini, semoga Allah memberikan keistiqomahan para aktivis agar selalu dekat dengan mu, semoga Allah menjadikan kita, anak kita, cucu kita, dan keturunan kita untuk selalu menjadi barisan terdepan dalam barisan dakwah ini.

4 Agustus 2011
Manarul Ilmi, tempat inspirasiku.

Surat Cinta Pejuang Dakwah

Cinta, hingga saat ini (mungkin) masalah cinta masih menjadi perbincangan yang selalu menarik. Bisa jadi kalau dibuat survey dengan pertanyaan sederhana, kira-kira apakah aktivis dakwah memilih untuk hadir pada seminar tentang cinta atau kajian aqidah? Mungkin pembaca pun sudah tau jawabannya akan banyak memilih apa. Begitulah cinta, fitrah yang Allah berikan pada kita semua yang tak ada habisnya dibahas dari masa ke masa. Dengan cinta, para penyanyi bisa mengarang jutaan lagu dan hingga saat ini tak ada satupun lirik lagu cinta yang sama, bahkan sutradara bisa membuat film cinta dengan ribuan episode dan judul, terlebih lagi para novelis yang tak ada habisnya menulis kisah-kisah cinta. Semua itu hanya dengan satu modal, hanya dengan modal CINTA. Mungkin menjadi dokter cinta tak sesulit menjadi dokter umum atau dokter hewan. Begitulah nikmat adanya cinta.

Dengan cinta Allah memberikan kasih sayang pada sesama kita, dengan cinta pula islam ini terus ada dan eksis hingga saat ini, dengan cinta pula dakwah ini (seharusnya) kokoh. Karena dengan cinta lah Allah memberikan kita kesempatan hidup di dunia ini. Dari cinta pula hidup ini semakin indah dan keindahan itu terus ada dan selalu ada jika ada CINTA. Dimanapun kita, di organisasi apapun kita, diperkumpulan apapun kita, cinta akan selalu hadir mewarnai perjalanan hidup ini. Membuat sejarah hidup seakan warna warni, membuat cerita-cerita seakan-akan lebih menarik, membuat kata-kata seakan lebih puitis, dan membuat suasana hidup seakan lebih romantis. Membuat kegundahan seakan-akan menjadi tentram dengan sekejap saja.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. QS. Ar-Ruum: 21

Tapi, dengan nikmat cinta yang begitu besar terdapat godaan yang jauh lebih besar lagi yang memungkinkan kita terjermus kedalam azabNya. Karena cinta begitu melenakan hawa nafsu, membuat kita mudah berpaling dari jalan taqwa dan memilih jalan keburukan. Terkadang, mungkin seringkali, cinta begitu melenakan kita. Karena kemasannya sangat menggoda dan menipu pandangan mata karena tertutup oleh nafsu belaka.

Mencintai, dicintai, Fitrah manusia
Melalaikan manusia hingga berpaling dariNya
Menipudaya dan melenakan
sadarilah wahai kawan...
(the fikr)
...............................
Satu hal yang tak pernah hilang dari aktivitas dakwah kita yaitu masalah cinta, cinta dengan lawan jenis baik sesama aktivis (ikhwan dan akhwat) ataupun dengan yang lainnya. Kita lebih favorit dengan bahasa virus merah jambu (VMJ). Akupun tak tahu dari mana dan siapa yang mengarangnya. Mungkin karena cinta bisa me’merahjambukan’ hati pelakunya. Sebenarnya cinta bukanlah sebuah masalah bagi kegiatan dakwah terlebih lagi untuk para aktivis dakwah. Karena cinta itu fitrah yang baik, jika diperlakukan dengan cara yang baik dan tepat. Apalagi aktivis dakwah bukanlah orang yang awam dengan aturan syar’i. tapi seringkali realitanya tidak seperti itu, lagi-lagi hawa nafsu mengacaukan skenario-skenario yang baik pula.

Bagiku, cinta di kalangan artis dakwah (aktivis) tidaklah salah, karena itu fitrah dari Allah dan itu adalah Nikmat bagi kita. Apakah mau jika kita tidak memiliki rasa cinta?. Cinta pada lawan jenis pun tidak salah, baik malah. Dan itu normal bagi kita sebagai manusia. Apalagi cinta sesama aktivis dakwah, justru inilah yang terbaik. Karena jika dilakukan dengan sikap dan cara yang tepat akan menjadikan aset baru untuk kekuatan dakwah kedepannya. Lalu apa yang membuat cinta itu jadi masalah bagi aktivis?. Cinta akan menjadi masalah jika menyikapinya dengan cara yang salah. Dan inilah yang seringkali terjadi pada ikhwah kita. Bukan hanya aktivis dakwah masyarakat, ADK dan ADS pun sudah terbiasa dengan masalah ini. Saking biasanya, mungkin setiap tahun pasti terjadi. Sekali lagi, kesalahan dalam menyikapi cinta.

Cinta atau perasaan suka pada lawan jenis sebenarnya timbul dari hal yang sederhana tapi seringkali dan pasti kita lakukan. Yaitu komunikasi. Bermula dari seringnya komunikasi biasanya lewat handphone atau sms, mengetahui orangnya (wajah) hingga adanya pertemuan atau tatap muka, atau cara yang lain yang saya belum tau (semoga tidak terjerumus). Hal ini memang biasa kita lakukan karena memang itulah kebutuhan dakwah tapi seringkali kita terlena hingga tidak tegas dalam menyikapinya. Apalagi zaman sekarang sudah dilengkapi dengan fiture2 canggih. Sehingga komunikasi sangat variatif. Entah dunia maya atau dunia nyata. Bahkan ‘rasa itu’ bisa timbul walaupun hanya dengan komunikasi tanpa mengetahui orangnya. Lagi-lagi karena faktor komunikasi, sekedar sms. Justru sms itu sangat mematikan...! karena sms multipersepsi dan bisa memancing lawan jenis jika memang kata-katanya ‘memancing’. Tapi, itu bukan berarti kita tidak perlu komunikasi, bukan itu solusinya. Karena komunikasi tidak mungkin tidak kita lakukan, karena dakwah itu tidak bisa ikhwan sendiri akhwat sendiri, kita berjama’ah bersama, dan masing-masing punya bagian kerja. Masing-masing saling membantu untuk menopang beratnya amanah dakwah (katanya sih beigtu).

Sebenarnya, masalah komunikasi ini kembali pada personal masing-masing. Biasanya ikhwan lebih mudah kepancing, dan jika akhwat sudah tau ikhwan seperti itu, jangan malah berusaha membuat pancingan. Saya jadi teringat kata-kata, semua ikhwan itu buaya, tapi sayangnya akhwat mencintai buaya (walaupun saya kurang setuju dengan itu). Nah, ini butuh ketegasan dari salah satu pihak. Baiknya, akhwat sedikit agak tegas jika pembicaraan sudah menyimpang ngalor ngidul. Jangan malah ikut-ikutan atau malah jadi lebay dan dibuat-buat seakan-akan ‘gimana gitu’ (sulit diumpamakan dengan kata-kata). Begitu pula dengan ikhwan, walaupun mudah terpancing tapi berusahalah menjaga hawa nafsu agar tetap berada pada jalur yang tepat. Karena Allah sudah mengingatkan kita, baik ikhwan maupun akhwat, terutama dalam menjaga pandangan. Pandangan bukan hanya berarti saling menatap, tapi termasuk segala cara yang memungkinkan timbul ‘rasa itu’ dengan fasilitas mata (termasuk melihat foto juga lho).

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat."
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada.....
QS. An-Nur: 30-31

Selain antisipasi diatas ada juga cara lain. Dalam organisasi dakwah selalu ada yang namanya mas’ul dan mas’ulah. Pemimpin baik bagi ikhwan maupun akhwat. Nah, fungsi pemimpin ini harus benar-benar bisa menjadi contoh agar bisa diteladani. Karena kalau pemimpinnya saja terpancing, apalagi anak buahnya, bisa-bisa memakan pancingan dengan lahap (insya Allah tidak). Fungsi utama dari mas’ul ialah teladan sehingga mas’ul pun harus, minimal, sedikit JaIm (jaga image). Selain sebagai teladan, para pemimpin ini sesekali harus melakukan kontrol atau cek n ricek untuk para jundinya. Siapa tau ada yang bermasalah. Kontrol ini berfungsi sebagai pengingat jika ternyata ada yang salah atau berlebihan dalam menyikapai ‘rasa itu’. Jadi, seandainya VMJ sudah menjamur maka ada pengingat yang bisa membersihkannya, minimal diingatkan by lisan. Akan lebih baik jika diingatkan secara men to men jika memang sudah benar-benar ‘ketauan’. Agar virus tersebut tidak melebar dan memakan korban aktivis lainnya.

Nah, seandainya cinta itu sudah mendarah daging dan sudah memerahjambukan hati para pelakunya maka sikapilah dengan cara yang tepat agar tidak terjadi hal-hal ‘yang antum inginkan’. Karena memang cinta yang timbul itu tidak salah dan itu normal-normal saja, tinggal penyikapannya yang perlu dipikir matang-matang. Jangan langsung hajar aja. Apalagi sampai terjadi khalwat, waduh bisa gawat ini akhi. Bukan hanya gawat buat antum saja tapi juga untuk citra aktivis dakwah, citra organisasi dakwah, citra lembaga dakwah, citra wanita-wanita yang sopan dengan jilbabnya (akhwat), citra para ikhwan-ikhwan yang akrab dengan jenggot tipis dan celana bahannya, citra ummat islam keseluruhan. Karena kalau pengemban amanah dakwahnya saja melakukan hal yang melanggar syar’i (apalagi yang termasuk dosa besar) lalu pada siapa lagi kita ummat islam menggantungkan harapan kembalinya kejayaan islam. Ini sama saja kalau para ustaz politik (ikhwah yang memiliki jabatan) melakukan korupsi, lalu pada siapa lagi “harapan ummat” ini digantungkan?. Masa sama SDM Iptek aja? (maaf melenceng sedikit dan menyebut merek).

Salah satu cara yang tepat untuk menyikapi ‘rasa itu’ ialah diskusikan masalah antum dengan murobbi antum, jika memang perlu menyampaikan salam atau surat kepada si doi sampaikanlah lewat murobbi (nah loh, berani ga ya?), insya Allah antum punya murobbi, kalo enggak... ya minta carikan sama yang diatas (cari tuh di langit, he...). Tenang saja, jangan su’uzhan pada Murabbi dan jangan mengira murobbi pasti melarang, insya Allah beliau akan menyalurkan aspirasi antum dengan cara yang lebih ahsan (katanya sih begitu, tapi ana sendiri belum coba). Jangan sampai kita menyikapinya (mediasi) dengan menyampaikan ‘rasa itu’ pada orang yang tidak tepat. Karena dampaknya sangat dahsyat akhi, bisa-bisa isu menyebar luas dan akhirnya ini akan menjadi aib antum (tau sendirikan infotainment dakwah ada dimana-mana), padahal cara antum tidak salah hanya saja kurang tepat. Sehingga dampaknya pun akan balik ke antum antunna sendiri dan dakwah secara umum. Mengapa begitu? Karena antum adalah aktivis dakwah, punya gelar ningrat dalam memperjuangkan agama. Sdikit saja kesalahan pada kita membuat orang melihat itu kesalahan besar. Itulah yang berat buat kita seakan-akan kita tidak boleh membuat noda sedikitpun, sekecil apapun, tapi dengan gelar itulah kita menjadi terjaga, saling mengingatkan, sedikit malu untuk berbuat maksiat, dan lebih jaim dalam melakukan hal-hal yang tidak baik. Dan itulah yang sampai saat ini menjadi kelebihan para aktivis dakwah (insya Allah, aaamiiinnn). So, jangan sampai kita menjadi perusak barisan ini, dan bahkan menjadi seperti ulat yang tidak ada manfaatnya padahal sebelumnya ia kupu-kupu yang cantik. Ibarat aktivis, dulunya paling komitmen, paling aktif, paling TeOPe BeGeTe, seorang kadep, apalagi kaderisasi (yang ngurusi kader gitu loh) –maaf, ga ada maksud apa-apa kok-, tapi gara-gara salah bersikap jadi luntur semua kebaikan itu karena orang memandang sisi buruk dari antum.

Sebagai contoh (studi kaskus, kasus kali), saya punya kawan beliau angkatan 2009. Itu artinya 2 tahun lebih muda dari saya. Tapi cara beliau dalam menyikapi cinta luar biasa. Saya salut dan bahkan malu karena tidak seberani beliau. Beliau punya keinginan kuat untuk menikah september nanti walaupun kondisinya belum izin dengan ortu tapi dia punya modal. Modal mental karena berani, modal berani karena punya ma’isyah (pendapatan) yang cukup, modal berani karena ini sunnah rasul dan ini adalah cara menyalurkan hawa nafsu yang tepat. Bahkan beliau pernah bilang ke saya ‘kan, cara menahan hawa nafsu dengan berpuasa, atau jika tidak kuat menikah saja, ya saya pilih menikah muda..:D cs pandangan sudah berkeliaran dan bahaya kalau diteruskan sendirian’. Itu kata beliau. Walaupun sampai saat ini belum jelas siapa calonnya. Setidaknya keberanian beliau boleh lah kita contoh. Dan langkah pertama, beliau menyikapinya dengan berdiskusi ke murobbi dan ternyata murobbi nya mendukung sekali, walaupun kalau kita liat ni orang (sahabat saya) tampangnya kurang meyakinkan. Tapi beliau berani dan menyikapinya dengan tepat. Insya Allah hasilnya akan baik pula karena cara yang ditempuh insya Allah baik. Dan dampak ini positif untuk dakwah karena bukan malah menjadi aib tapi timbul kesalutan dan kekaguman para aktivis lainnya kepada beliau, tertutama ADK yang sudah berumur, termasuk saya. Itulah dampak kalau kita menyikapi ‘rasa itu’ dengan tepat, akan semakin menguatkan barisan dakwah bukan malah melemahkan kekuatan dakwah, akan semakin memotivasi kita untuk meniru bukan malah membeci pelakunya.

Semoga kita bisa menyikapi ‘rasa itu’ dengan cara yang tepat agar cinta bisa semakin mengokohkan barisan dakwah, bukan malah merusak dan melemahkan barisan yang sudah kuat. Karena setetes tinta, rusak susu seEmber. Semoga kita tidak seperti kalimat tersebut, keberadaan dan sikap kita menjadi aib dan merusak barisan dakwah ini, menjadi penyebab citra buruk aktivis dakwah, dan menjadi penghambat kesuksesan dakwah. Igat akhi, kebanyakan orang hanya melihat sedikit sisi buruk dari kita tidak melihat segudang kebaikan kita. Karena itu KH. Rahmat Abdullah mengingatkan kita semua dengan kalimat berikut:

“Ingat selalu dua hal, kebaikan orang pada kita dan kesalahan kita pada orang lain
Lupakan selalu dua hal, kebaikan kita pada orang lain dan kesalahan orang lain pada kita.”

Semoga kalimat diatas akan memacu kita untuk terus menebar pesona kebaikan di jalan Ini, agar lingkungan kita, keluarga kita, sahabat kita, semakin hari berubah kearah yang lebih baik, minimal karena ajakan dan teladan yang kita berikan. Itulah sejatinya dakwah kita, perubahan kearah yang lebih baik.

Kupersembahkan tulisan ini untuk sahabatku para aktivis dakwah (kampus) yang sedang ataupun telah ter’merahjambukan’ hatinya karena cinta. Tenang kawan, itu fitrah dan sikapilah dengan tepat. Semoga Allah meridhoi apa yang kita lakukan untuk cinta, cinta yang telah dan selalu akan menaklukkan hati para pejuang dakwah.

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).”
QS an-Naazi’aat : 40-41


Surabaya, 16 Juli 2011

Kisah Lengkap Ash-Habul Kahfi

"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung kedalam gua lalu mereka berdoa, "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)." (QS al-Kahfi:10).

Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:

Dikala Umar bin Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah, "Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.

"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.

"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) disaat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan dikala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak diwaktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"

Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berpikir sejenak, kemudian berkata, "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''

Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata, "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!"

Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"

Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"

Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"

Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar bin Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkat,: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"

Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata, "Silahkan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"

Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata, "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!" "Ya baik!" jawab mereka.

"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.

Mereka mulai bertanya, "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"

"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik laki-laki ataupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai kehadirat Allah!"

Para pendeta Yahudi bertanya lagi, "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?"

Ali bin Abi Thalib menjawab, "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!"

Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata, "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut, "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"

"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi Yunus AS dibawa keliling ketujuh samudera!"

Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi, "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"

Ali bin Abi Thalib menjawab, "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman AS putera Nabi Dawud AS, Semut itu berkata kepada kaumnya, 'Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"

Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya, "Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan diatas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun diantara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"

Ali bin Abi Thalib menjawab, "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."

Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan, "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!"

Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."

"Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.

"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.

Ali bin Ali Thalib menjawab, "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."

Pendeta Yahudi itu menyahut, "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"

Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut kedepan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata, "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasulullah SAW kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, disebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."

Baru sampai disitu, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya, "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"

Ali bin Abi Thalib menerangkan, "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya satu farsakh (+/- 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Disebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Disebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."

Sampai disitu pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata, "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"

"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "Mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."

Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi, lalu berkata, "Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"

Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab, "Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri disebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.

Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung didalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.

Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung didalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.

Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah SWT.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.

Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu kedalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia berpikir, lalu berkata di dalam hati, "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.

Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya, 'Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?'

'Teman-teman,' sahut Tamlikha, 'hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.'

Teman-temannya mengejar, 'Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?'

'Sudah lama aku memikirkan soal langit,' ujar Tamlikha menjelaskan. 'Aku lalu bertanya pada diriku sendiri,'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga bumi ini, 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri, 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"

Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata, 'Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!'

'Saudara-saudara,' jawab Tamlikha, 'baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja Pencipta Langit dan Bumi!'

'Kami setuju dengan pendapatmu,' sahut teman-temannya.

Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.



Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya, 'Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar. Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.

Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya,'Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?'

'Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,' sahut penggembala itu. 'Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!'

'Ah…, susahnya orang ini,' jawab mereka. 'Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?' 'Ya,' jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata, 'Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian.'

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."

Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata, "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"

"Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib, "Anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya, kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali, 'Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT.'

Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua."

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata, "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?"

Imam Ali menjelaskan, "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau disebut juga dengan nama Kheram!"

Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya, "Secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga duduk sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.

Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.

Kepada para pengikutnya ia berkata, 'Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!'

Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya, "Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.,

Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.

Setelah masa yang amat panjang itu lewat, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya, 'Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!'

Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya, 'Siapakah diantara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.'

Tamlikha kemudian berkata, 'Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!'

Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan, 'Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.'

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri, 'Kusangka aku ini masih tidur!' Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja rot, 'Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?' 'Aphesus,' sahut penjual roti itu.

'Siapakah nama raja kalian?' tanya Tamlikha lagi. 'Abdurrahman,' jawab penjual roti.

'Kalau yang kau katakan itu benar,' kata Tamlikha, 'urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!'

Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat."

Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"

Imam Ali menerangkan, "Uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"

Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya, "Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha, 'Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!'

'Aku tidak menemukan harta karun,' sangkal Tamlikha. 'Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!'

Penjual roti itu marah. Lalu berkata, 'Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?'

Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berpikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, 'Bagaimana cerita tentang orang ini?' 'Dia menemukan harta karun,' jawab orang-orang yang membawanya.

Kepada Tamlikha, Raja berkata, 'Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.'

Tamlikha menjawab, 'Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!'

Raja bertanya sambil keheran-heranan, 'Engkau penduduk kota ini?' 'Ya. Benar,' sahut Tamlikha.

'Adakah orang yang kau kenal?' tanya raja lagi. 'Ya, ada,' jawab Tamlikha.

'Coba sebutkan siapa namanya,' perintah raja. Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata. 'Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?'

'Ya, tuanku,' jawab Tamlikha. 'Utuslah seorang menyertai aku!'

Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan, 'Inilah rumahku!'

Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang, 'Kalian ada perlu apa?'

Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut, 'Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!'

Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya, 'Siapa namamu?' 'Aku Tamlikha anak Filistin!'

Orang tua itu lalu berkata, 'Coba ulangi lagi!' Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap. 'Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang diantara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka." Kemudian diteruskannya dengan suara haru, 'Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!'

Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian dilaporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya, 'Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?'

Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.

Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.

"Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka, 'Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!'

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, 'Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!'

Tamlikha menukas, 'Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?'

'Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,' jawab mereka.

'Tidak!' sangkal Tamlikha. 'Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!'

Teman-teman Tamlikha menyahut, 'Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?' 'Lantas apa yang kalian inginkan?' Tamlikha balik bertanya.

'Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,' jawab mereka. Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa, 'Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!'

Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.

Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata, 'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.'

Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula, 'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.'

Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam."

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"

Pendeta Yahudi itu menjawab, "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat ini!"

Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul SAW