Jumat, 26 Agustus 2011

Menggali Sunnah I’tikaf

I’tikaf sebagaimana yang kita ketahui pada umumnya yaitu berdiam diri di masjid. Sebenarnya bagaimana anjuran beri’tikaf, dalilnya, dan mengapa kita harus I’tikaf? Kira-kira pertanyaan-pertanyaan itulah yang nantinya akan kita urai dalam tulisan ini.

Rasululllah SAW diperintahkan oleh Allah untuk berpuasa di bulan Ramadhan pada tahun 2 Hijriyah dan mulai tahun tersebut Rasul SAW menjalankan kewajiban berpuasa. Itu artinya Rasulullah SAW menjalani puasa Ramadhan sebanyak 9 kali hingga beliau wafat di tahun ke 10 H dan setiap 10 hari terakhir beliau tidak pernah meninggalkan yang namanya I’tikaf. Bahkan didalam hadist shohih dijelaskan bahwa Rasul SAW di Ramadhan yang terakhirnya i’tikaf di masjid selama 20 hari terakhir. Walaupun dalil yang menjelaskan tentang fadhilah i’tikaf tidak ada, hal ini bukan berarti hanya berlaku bagi rasul saja (seperti memiliki 9 istri) melainkan berlaku bagi kita juga dan bahkan Rasul mengajak para istri dan sahabatnya. Bahkan para fuqoha berpendapat bahwa i’tikaf memiliki keistimewaan yang luar biasa, karena salah satu sunnah (perintah) yang tidak dipancing melalui dalil-dalil yang menjelaskan keutamaannya (fadhilah), tidak seperti sholat dhuha atau sholat tahajjud yang merupakan sunnah yang dipancing pake dalil2 tentang fadhilah nya. Sekali lagi, bahkan Rasul SAW tak pernah sekalipun meninggalkan yang namanya i’tikaf di 10 hari terakhir Ramadhan sepanjang hidup beliau.

“...Wa antum ‘akifuna fil masajid...” yang artinya: ..sedang kamu beri'tikaf dalam masjid..
QS. Al-Baqoroh: 187
Kata ‘Antum’ berarti mukhotob (lawan bicara jama’) dan jika mukhotob itu tertuju pada laki-laki maka berlaku juga untuk perempuan seperti pada ayat berikut: “...Kkutiba ‘alaykumu sshiyam...” yang artinya: .. diwajibkan atas kamu berpuasa..QS. Al-Baqoroh: 183. Kata ‘alaykum (atas kamu) tertuju pada kata ganti laki-laki tapi puasa berlaku untuk semua baik laki-laki maupun perempuan.
Kata ‘akifuna para ahli tafsir menjelaskan bahwa itu berarti ‘mereka selalu beri’tikaf’. Karena kata tersebut tidak menggunakan ya’takifuna yang bisa dimaknai kadang i’tikaf kadang juga tidak. Dan diakhir kalimatnya menggunakan fil masajid yang berarti jama’, dilakukan di masjid-masjid. Bukan hanya di satu masjid nabi saja. Jadi, hal ini berlaku untuk semua ummat islam.
Jadi, i’tikaf itu dilakukan bersama-sama di masjid-masjid dan selalu dilakukan ketika di zaman Rasul SAW baik oleh Rasul, keluarganya, dan para sahabatnya.

Nah, sebenarnya apa esensi dari I’tikaf? Apakah bermalam saja di masjid? Atau seharian selalu dimasjid? Atau bagaimana?. Memang, baiknya 10 hari terakhir Ramadhan kita habiskan waktu-waktu kita di masjid baik dari sahur sampai sahur kembali, itu idelanya. Tapi, paling tidak esensi i’tikaf bisa kita dapat. Yaitu intishoru ssholah ba’da ssholah. Menunggu datangnya sholat fardhu setelah melaksanakan sholat fardhu (dengan beribadah). Misal, kita sholat zuhur kemudian sambil menunggu asar kita berdiam di masjid sambil beribahdah. Sebaiknya selalu dalam kondisi berwudhu.

Keutamaan orang yang menunggu sholat fardhu setelah sholat itu seperti Ribath, yang dijelaskan di surat Al Imran ayat terakhir. Yaitu seperti para mujahid yang berjaga-jaga di perbatasan perang. Bayangkan, orang yang berada di perbatasan perang itu kalo diserang musuh kemungkinannya dia yang kena tembak lebih dulu, artinya dia yang berpeluang besar mati syahid lebih awal. Dan kita tahu sendiri, jihad itu punggungnya agama dan orang kategori ini lah yang sangat berpeluang berjihad bahkan syahid lebih awal. Intinya, paling tidak jika kita tidak bisa penuh seharian di masjid maka kita habiskan waktu kita untuk menunggu sholat fardhu dengan beribadah. Lebih baik lagi kalau seharian terutama mengambil waktu malam.

Yang berikutnya, bagaimana kita maksimalkan 10 hari terakhir kita? Dalam sebuah hadist riwayat Bukhari dijelaskan bahwa Rasul SAW apabila telah memasuki 10 hari terakhir, beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, dan mengencangkan ikat pinggangnya.
Nah, jangan sampai kita salah memaknai hadist tersebut. Yang dimaksud menghidupkan malamnya, ialah dengan beribadah entah tilawah maupun qiyamullail (termasuk tarawih). Bukan berarti menghidupkan malam dengan jalan-jalan, belanja, apalagi ngobrol-ngobrol sampai larut pagi.

Selain itu, beliau juga membangunkan keluarganya, tidak ingin hanya mendapat pahala sendirian. Nah, disinilah peran dakwahnya, termasuk juga kita. Sebisa mungkin kita bangunkan saudara/i kita, kawan-kawan kita, teman seperjuangan termasuk panitia juga, dsb. Agar mendapat keutamaan-keutamaan pahala bersama-sama, tidak sendiri2. Masa masuk surga sendirian? Bukan aktivis dong.

Dan yang terakhir, Rasulullah SAW mengencangkan ikat pinggangnya. Ikat pinggang itu bisa dikencengin kalo kondisi perut tidak berlebihan (kenyang) agar ibadah bisa khusyu’. Karena kalo kenyang kita jadi cenderung ngantuk, males, dan tidak khusyu’.

Dan yang paling penting, mengapa kita harus i’tikaf di 10 hari terakhir yaitu karena agar kita mendapatkan malam lailatul qadr, malam yang sangat mulia, malam yang setara dengan 1000 bulan atau sekitar 83 tahun, umur kita saja belum tentu sampai segitu. Bukan hanya mendapatkan tapi memaksimalkan malam tersebut dengan ibadah. Dalam sebuah hadist dikatakan bahwa ‘man qoma lailatal qadri, imanan wahtisaban ghufiro lahu ma taqoddama min dzanbih’ yang artinya: barang siapa yang mendirikan malam lailatul qadr dengan penuh keimanan dan kesungguhan maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu maupun yang akan datang. Dan dalam hadist lain dikatakan ‘carilah malam lailatul qadr itu di 10 hari terakhir Ramadhan’.

Nah, sangat disayangkan kalo kita melewati malam lailatul qadr dengan tidak maksimal apalagi dengan sia-sia, hanya terlelap tidur di rumah gara-gara terlalu sibuk belanja, apa lagi sibuk perjalanan mudik, sehingga kita melewati malam yang sangat-sangat mulia sekali. Dengan i’tikaf, kita bisa maksimalkan malam-malam kita di masjid dengan ibadah, tilawah quran, qiyamullail. Karena dimasjid manusia cenderung inginnya beribadah, karena memang masjid tempat beribadah dan di masjid cenderungnya ramai dan suasana tsb yang menyemangati kita untuk beribadah, belum lagi kalau ada kegiatan plus-plusnya entah buka dan sahur gratis, kajian subuh, dsb. Beda kalo kita di rumah, apalagi di kos, cenderungnya malas, nonton tv, nonton bola, nonton OVJ, apalagi sampai ngegame dan melakukan hal-hal yang sia-sia lainnya. (semoga kita tidak termasuk di dalamnya).

Untuk memaksimalkan doa kita dimalam lailatul qadr, ada hadist yang intinya sebagai berikut: Aisyah radiyallahu anha bertanya pada Rasulullah SAW, seandainya aku mengetahui malam ini malam lailatul qadr, apa yang harus saya lakukan?, Rasul menjawab: katakanlah “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fuanni”. Ya Allah, sesungguhnya engkau maha pemaaf, mencintai saling memaafkan, oleh karena itu ampunilah dosa-dosa ku.

Sebagai akhir penutup tulisan ini, mari kita bangun komitmen kita sebagai aktivis dakwah yang seperti nabi zakariya, yusari’una fil khairat, bersegera dalam kebaikan. Sebagai aktivis dakwah, harusnya kita menjadi teladan, contoh, dan penyemangat sekitarnya dalam beribadah, apalagi ini di 10 hari terakhir bulan ramadhan. Begitu banyak keutamaan-keutamaan diwaktu tsb, jangan sampai kita selaku aktivis menjadi orang yang tidak bisa apalagi tidak paham kesempatan dan keutamaan tersebut. Ciri utama aktivis yang sukses ialah, yang terlihat perubahan yang lebih baik pada dirinya sendiri. Dan itulah ciri utama dakwah, kita pun harus berubah kearah yang lebih baik, memulai kebiasaan-kebiasaan baik yaitu sunnah Rasul SAW. Ayo, kita mulai budaya I’tikaf untuk memaksimalkan ibadah di 10 hari terakhir bulan Ramadhan.

Jangan sampai kita beralasan tidak i’tikaf karena sibuk, apalagi sibuk belanja dan mudik. Padahal Rasulullah tidak pernah meninggalkan i’tikaf sepanjang hidupnya. Dan ingatlah kawan, Rasulullah orang yang super sibuk, kepala negara, kepala pemerintahan, nabi dan rasul, panglima perang, aktivis dakwah, contoh dan teladan, memiliki keluarga besar, 9 istri, anak dan cucu, bahkan beliau sudah cukup tua ketika menjalan kan ibadah ini pada usia 50 an. Masihkah layak kita bilang diri ini sibuk? Sehingga tidak bisa i’tikaf? Jika ya, berdoalah sama Allah agar diberi kekuatan untuk bisa sibuk tapi tetap bisa i’tikaf.

DQ Mulia, 21 Agustus 2011, 22 Ramadhan 1432 H.

Tidak ada komentar: