Presidential - Innovation Lecture
Bacharudin Jusuf Habibie
Pada Acara HARI KEBANGKITAN TEKNOLOGI
NASIONAL 2012
Bandung, 10 Agustus 2012
Reaktualisasi Peran Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi dalam Membangun Kemandirian Bangsa
Ysh. Gubernur/Kepala Daerah Propinsi
Jawa Barat,
Ysh. Para Pejabat Kementerian Riset
Dan Teknologi,
Ysh. Muspida dan Pejabat tingkat
Propinsi Jawa Barat,
Bapak‐bapak dan Ibu‐ibu para peneliti,
penggiat dan pemerhati Iptek yang saya cintai,
Hadirin yang terhormat,
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa
barakatuh,
Salam sejahtera untuk kita semua.
HAKTEKNAS DAN N‐250
Hari ini tanggal 10 Agustus 2012, 17
tahun lalu, tepatnya 10 Agustus 1995, dalam rangka peringatan 50 tahun
kemerdekaan Indonesia, bangsa kita telah menggoreskan pena sejarahnya dengan
terbang perdana pesawat terbang canggih N‐250. Pesawat turboprop
tercanggih hasil disain dan rancang
bangun putra‐putri bangsa sendiri mengudara di atas kota Bandung dalam cuaca
yang amat cerah, seolah melambangkan cerahnya masa depan bangsa karena telah mampu
menunjukkan kepada dunia kemampuannya dalam penguasaan sain dan teknologi secanggih apapun
oleh generasi penerus bangsa.
Bandung memang mempunyai arti dan
peran yang khusus bagi bangsa Indonesia. Bukan saja sebagai kota pendidikan,
kota pariwisata atau kota perjuangan, namun Bandung juga kota yang menampung
dan membina pusat‐pusat keunggulan Iptek, sebagai penggerak utama proses nilai
tambah industri yang memanfaatkan teknologi tinggi (high tech).
Kita mengenang peristiwa terbang
perdana pesawat N250 itu sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (HAKTEKNAS),
yang dalam pandangan saya merupakan salah satu dari lima “Tonggak Sejarah” bangsa
Indonesia, yaitu:
Pertama : Berdirinya Budi Utomo, 20 Mei 1908 (Hari Kebangkitan Nasional – 20 Mei);
Kedua : Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 (Hari Sumpah Pemuda – 28 Oktober);
Ketiga : Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 (Hari Proklamasi Kemerdekaan ‐ 17 Agustus);
Keempat: Terbang perdananya pesawat paling canggih Turboprop N250 (Hari Kebangkitan Teknologi Nasional – 10 Agustus);
Kelima : Diperolehnya “Kebebasan”, dengan dimulainya kebangkitan demokrasi pada
tanggal 21 Mei 1998.
Pada tahun 1985, sepuluh tahun sebelum
terbang perdananya, telah dimulai riset dan pengembangan pesawat N250. Semua
hasil penelitian dari pusat‐pusat keunggulan penelitian di Eropa dan Amerika
Utara dalam bidang ilmu dirgantara, ilmu aerodinamik, ilmu aeroelastik, ilmu konstruksi
ringan, ilmu rekayasa, ilmu propulsi, ilmu elektronik, ilmu
avionik, ilmu produksi, ilmu
pengendalian mutu (quality control) dsb, telah dikembangkan dan
diterapkan di industri IPTN, di Puspitek, di BPPT dan di ITB.
Dengan terbangnya N250 pada kecepatan
tinggi dalam daerah “subsonik” dan stabiltas terbang dikendalikan secara
elektronik dengan memanfaatkan teknologi “fly
by wire”, adalah prestasi nyata bangsa Indonesia
dalam teknologi dirgantara. Dalam sejarah dunia penerbangan sipil, pesawat N250
adalah pesawat turboprop yang pertama dikendalikan dengan teknologi fly by
wire.
Dalam sejarah dunia dirgantara sipil,
pesawat Jet AIRBUS A300 adalah yang pertama kali menggunakan teknologi fly
by wire, namun AIRBUS 300 ini terbang dalam daerah “transsonic” dengan kecepatan
tinggi, sebagaimana kemudian juga Boeing‐777.
Fakta sejarah mencatat bahwa urutan
pesawat penumpang sipil yang menerapkan teknologi canggih untuk pengendalian
dan pengawasan terbang dengan “fly by
wire” adalah sebagai berikut:
1. A‐300 hasil rekayasa dan produksi
Airbus Industri (Eropa)
2. N‐250 hasil rekayasa dan produksi
Industrie Pesawat Terbang Nusantara IPTN, sekarang bernama PT. Dirgantara
Indonesia (Indonesia)
3. BOEING 777 hasil rekayasa dan
produksi BOEING (USA)
Fakta sejarah dunia dirgantara juga
mencatat bahwa 9 bulan sebelum N250 melaksanakan terbang perdananya, pada hari
Rabu tanggal 7 December 1994 di Montreal Canada, kepada tokoh yang dianggap paling
berjasa dalam industri dirgantara sipil dunia diberikan medali emas “Edward
Warner Award ‐ 50 Tahun ICAO”. Penghargaan
tersebut diberikan dalam rangka memperingati 50 tahun berdirinya “International Civil Aviation Organisation atau ICAO”, yang didirikan pada
hari Kamis tanggal 7 Desember 1944 di Chicago – USA oleh Edward Warner bersama
beberapa tokoh industri dirgantara yang lain.
ICAO didirikan dengan tujuan membina
perkembangan Industri dirgantara sipil di dunia. Upacara penghargaan tersebut
dihadiri oleh para Menteri Perhubungan Negara yang anggota Perserikatan Bangsa Bangsa.
Dalam upacara yang sangat meriah,
khidmat dan mengesankan tersebut, Sekretaris Jenderal ICAO Philippe Rochat yang
didampingi oleh Sekretaris Jenderal PBB Boutros
Boutros‐Ghali, menyerahkan medali
emas “Edward Warner Award 50 Tahun ICAO” oleh kepada putra indonesia, Bacharuddin
Jusuf Habibie.
Bukankah kedua Fakta Sejarah
Dirgantara ini telah membuktikan bahwa kualitas SDM Indonesia sama dengan kualitas
SDM di Amerika, Eropa, Jepang dan China?
Dengan peristiwa tersebut kita dapat
membuktikan kepada generasi penerus Indonesia serta masyarakat dunia, bahwa
bangsa Indonesia memiliki kemampuan dan kualitas yang sama dalam penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) secanggih apapun yang sekaligus dilengkapi
dengan kokohnya iman dan taqwa (Imtaq). Peningkatan jumlah dan kualitas manusia
Indonesia yang terdidik tersebut juga melahirkan kesadaran akan peran dan
tanggung jawab mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di
kalangan generasi muda.
Para hadirin yang berbahagia
Bukan hanya Pesawat Terbang N250 yang
dipersembahkan oleh Generasi Penerus sebagai hadiah Ulang Tahun Kemerdekaan
ke‐50 kepada Bangsa Indonesia 17 tahun yang lalu, tetapi mereka juga menyerahkan
Kapal untuk 500 Penumpang dan Kereta Api Cepat, yang semuanya dirancang bangun
oleh Generasi Penerus.
Hal yang sekarang patut kita tanyakan
adalah:
Þ Hadiah HUT Kemerdekaan ke 67 apa yang dapat kita persembahkan
pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 17 Tahun setelah prestasi yang
membanggakan itu?
Þ Bagaimana keadaan Industri Strategis yang telah
menghasilkan produk andalan yang membanggakan 17 Tahun yang lalu?
Þ Bagaimanakah keadaan industri Dirgantara dan Industri penunjangnya
sekarang?
Þ Bagaimana perkembangan pusat keunggulan Ilmu
Aerodinamik, Gadynamik, Getaran (LAGG), Ilmu Konstruksi Ringan (LUK),
Elektronik (LEN) dsb. yang telah dimulai puluhan tahun yang lalu?
Þ Bagaimana keadaan pendidikan SDM yang mampu menguasai
teknologi secanggih apapun?
Þ Masih banyak pertanyaan yang patut kita berikan dan jawab!
Pertanyaan tersebut di atas dapat dijawab dengan mengkaji fakta dan kecenderungan
sebagai berikut:
à Produk pesawat terbang, produk kapal laut dan produk
kerata api ‐‐ yang pernah kita rancang‐bangun ‐‐ dalam “eufori reformasi” telah
kita hentikan pembinaannya atau bahkan sedang dalam “proses penutupan”.
Misalnya PT. DI yang dahulu memiliki sekitar 16.000
karyawan, sekarang tinggal
kurang‐lebih 3.000 karyawan, yang dalam 3 sampai 4 tahun mendatang dipensiun
karena tidak ada kaderisasi dalam segala tingkat.
à Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang
mengkoordinir 10 Perusahaan yang pada tahun 1998 memiliki kinerja turn‐over sekitar
10 Milliard US$ dengan 48.000 orang karyawan, kemudian dalam “eufori reformasi”
dibubarkan! Pembinaan Industri Dirgantara,
Industri Kapal, Industri Kereta Api,
Industri Mesin, Industri Elektronik‐Komunikasi dan Industri Senjata, dsb. tidak
lagi mendapat perhatian dan pembinaan!
à KEPPRES No. 1 tahun 1980 tentang ketentuan penggunaan
produk pesawat buatan dalam negeri dihapus dan PT DI tidak lagi didukung secara
finansial maupun kebijakan industri pendukung lain.
à PTDI berupaya untuk tetap bertahan hidup (survive) dengan berkonsentrasi
kepada penjualan produk yang ada a.l. CN235 dan pesawat lisensi NC212 dan
helikopter.
à Di lain pihak, biaya
pengembangan pesawat – termasuk pendidikan SDM terampil ‐‐ dianggap hutang kepada
Pemerintah, yang mengakibatkan pembukuan PTDI buruk di mata perbankan sehingga
menyulitkan industri untuk dapat beroperasi dan tidak memungkinkan industri
berinvestasi.
à PTDI melakukan diversifikasi usaha di berbagai bidang
a.l., jasa aerostructure, engineering service dan maintenance‐ repair
‐overhaul dan tidak lagi menitikberatkan pada rancang bangun dan
produksi.
à Dengan terpuruknya program pengembangan dalam negeri,
banyak design engineers yang memilih pergi ke luar negeri (a.l. Amerika, Eropa)
untuk bekerja di industri pesawat terbang lain. Sebagian besar dalam beberapa
tahun pulang, setelah negara setempat mendahulukan pekerja lokal dibandingkan
dengan pekerja asing (kasus: Embraer). Dengan berjalannya waktu, tanpa program
pengembangan PTDI tidak dapat melakukan pergantian/regenerasi karyawan engineering,
yang pada gilirannya mengancam kapabilitas dan kompetensi PTDI sebagai produsen
pesawat.
à Apa yang dialami oleh PT. Dirgantara, dialami pula oleh
semua perusahaan yang dahulu dikoordinir oleh Badan Pengelolah Industri Strategis,
BPIS.
à Segala investasi yang dilaksanakan pada perkembangan dan pendidikan
SDM yang trampil tanpa kita sadari telah “dihancurkan” secara sistimatik dan
statusnya kembali seperti kemampuan bangsa Indonesia 60 tahun yang lalu!
à Prasarana dan sarana pengembangan SDM di Industri, di
PUSPITEK, di Perguruan Tinggi (ITB, ITS, UI, UGM, dsb.) serta di pusat‐pusat keunggulan
yang dikoordinasikan oleh Menteri Riset dan Teknologi dialihkan ke bidang lain
atau dihentikan, sehingga teknologi untuk meningkatkan “nilai tambah”
suatu produk secanggih apapun yang dibutuhkan oleh pasar domestik dikurangi dan
bahkan dihentikan pembinaannya dan diserahkan kepada karya SDM bangsa lain
dengan membuka pintu selebar‐lebarnya untuk impor!
à Pasar Domestik yang begitu besar di bidang transportasi, komunikasi,
kesehatan dsb. “diserahkan” kepada produk dimpor yang mengandung jutaan “jam
kerja” untuk penelitian,
pengembangan dan produksi produk yang
kita butuhkan.
à Produk yang dibutuhkan itu harus kita biayai dengan
pendapatan hasil ekspor sumber daya alam terbaharukan dan tidak terbaharukan,
energi, agro industri, pariwisata, dsb. Ternyata potensi ekspor kita ini tidak
dapat menyediakan jam kerja yang dibutuhkan sehingga SDM di desa harus ke kota
untuk mencari lapangan kerja atau ke luar negeri sebagai TKI dan TKW.
Akibatnya, proses pembudayaan dalam rumah tangga terganggu dsb. dsb. Proses
pembudayaan (“Opvoeding, Erszeihung, Upbringing”) harus disempurnakan
dengan proses pendidikan dan sebaliknya, karena hanya dengan demikian sajalah
produktivitas SDM dapat terus ditingkatkan melalui pendidikan dan pembudayaan
sesuai kebutuhan pasar.
à Pertumbuhan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi seharusnya
dipelihara setinggi mungkin untuk dapat meningkatan “pendapatan bruto
masyarakat” atau peningkatan “kekayaan national” atau “national wealth”. Namun pemerataan
pemberian kesempatan berkembang, pemerataan pendidikan‐pembudayaan dan
pemerataan pendapatanlah yang pada akhirnya menentukan kualitas kehidupan,
kualitas kesejahteraan dan kualitas ketentraman yang menjadi sasaran tiap
masyarakat.
à Bukankah jam kerja yang terselubung pada tiap produk
yang kita beli itu pada akhirnya menentukan tersedianya lapangan kerja atau
mekanisme proses pemerataan dalam arti yang luas itu?
à Kita harus pandai memproduksi barang apa saja yang
dibutuhkan di pasar nasional dan memberi insentip kepada siapa saja, yang memproduksi
di dalam negeri, menyediakan jam kerja dan akhirnya lapangan kerja.
à Potensi pasar nasional domestik kita sangat besar.
Misalnya, pertumbuhan penumpang pesawat terbang sejak 10 tahun meningkat sangat
tinggi, sekitar 10% ‐ 20% rata2 tiap tahun. Produksi pesawat terbang turboprop
N250 untuk 70 penumpang ‐‐yang sesuai rencana pada tahun 2000 sudah mendapat
sertifikasi FAA ‐‐ dan Pesawat Jet N2130 untuk 130 penumpang – yang sesuai rencana
akan mendapat sertfikasi FAA pada tahun 2004 – adalah jawaban kita untuk
memenuhi kebutuhan pasar. Kedua produk yang dirancang bangun oleh putra‐putri
generasi penerus ini yang mengandung jutaan jam kerja, bahkan harus dihentikan.
MENGAPA? ? ?
à Demikian pula dengan produksi kapal Caraka Jaya,
Palwobuwono dan kapal Container yang harus dihentikan. Produksi kerata api harus
pula dihentikan.
à Walaupun pasar domestik nasional begitu besar, namun
sepeda motor, telpon genggam dsb. ‐‐ yang semuanya mengandung jam kerja yang
sangat dibutuhkan ‐‐ nyatanya barang‐barang tersebut tidak diproduksi di dalam
negeri. MENGAPA? MENGAPA?
MENGAPA?
à Memang kesejahteraan meningkat, golongan menegah meningkat
dan pertumbuhan meningkat pula, namun proses pemerataan belum berjalan
sesuai kebutuhan dan kemampuan kita.
à Ini hanya mungkin jikalau jam kerja yang terkandung
dalam semua produk yang dibutuhkan itu secara nyata diberikan kepada masyarakat
madani Indonesia. Oleh karena itu pada kesempatan untuk berbicara di hadapan
para peserta Sidang Paripurna MPR tanggal 1 Juni Tahun 2011, saya garis bawahi
pentingnya kita menjadikan NERACA JAM KERJA sebagai Indikator Makro Ekonomi
disamping NERACA PERDAGANGAN dan NERACA PEMBAYARAN.
Para hadirin yang berbahagia
Pada peringaran HAKTEKNAS tahun 2012
saat ini, saya ingin Menggaris bawahi apa yang sudah dikemukakan banyak
kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi peran Iptek dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka meningkatkan daya saing
dan produktivitas nasional, serta untuk menghadapi berbagai permasalahan bangsa
masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin
kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, dan hal tersebut
akan mensyaratkan solusi yang tepat, terencana dan terarah.
Kita tahu bahwa fenomena globalisasi
mempunyai berbagai bentuk. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang
ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain,
yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk‐produk
ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam
kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo‐colonialism,
atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte
Oostindische Companie) dengan baju baru". (Hal
tersebut telah saya sampaikan pada Pidato Peringatan Kelahiran Pancasila di
hadapan Sidang Pleno MPR RI tanggal 1 Juni 2011 yang lalu).
Dalam forum yang terhormat ini, saya
mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan
cendekiawan di kampuskampus serta di lembaga‐lembaga kajian dan penelitian lain
untuk secara serius merumuskan implementasi peran iptek dalam berbagai aspek
kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan.
Terkait dengan hal tersebut, saya
sangat menghargai upaya Pemerintah dalam membentuk Komite Inovasi Nasional
(yang dikenal dengan KIN) dan Komite Ekonomi Nasional (yang dikenal dengan KEN)
dengan tugas sebagai advisory council untuk mendorong inovasi di segala
bidang dan mempercepat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Saya mengetahui bahwa
KIN maupun KEN telah merumuskan berbagai strategi dan kebijakan dan agenda
aksi, khususnya yang menyangkut perbaikan ekosistem inovasi dan pengembangan
wahana transformasi industri. Apa yang ingin saya ingatkan ialah, jangan sampai
berbagai
konsep yang dirumuskan oleh KIN maupun
KEN tersebut hanya berhenti ditingkat masukan kepada Presiden saja, ataupun di
tingkat rencana pembangunan saja, namun perlu direalisasikan dalam kegiatan pembangunan
nyata. Jangan kita merasa puas dengan wacana maupun berencana, namun ketahuilah
bahwa rakyat menunggu aksi nyata dari
kita semua, baik para penggiat
teknologi, penggiat ekonomi, pemerintah maupun lembaga legislatif.
Saya juga menyarankan agar Pemerintah
maupun Legislatif perlu lebih proaktip peduli dan bersungguh‐sungguh dalam
pemanfaatan produk dalam negeri dan “perebutan jam kerja”. Kerjasama Pemerintah
Daerah dan Pusat bersama dengan wakil rakyat di lembaga Legeslatif Daerah dan
Pusat perlu ditingkatkan konvergensinya ke arah lebih pro rakyat, lebih pro
pertumbuhan dan lebih pro pemerataan.
Pada kesempatan ini, saya juga ingin
menyampaikan pesan dan himbauan, hendaknya kita pandai‐pandai belajar dari
sejarah. Janganlah kita berpendapat bahwa tiap pergantian kepemimpinan harus
dengan serta‐merta disertai pergantian kebijakan, khususnya
yang terkait dengan program penguasaan
dan pernerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita mengetahui bahwa dalam penguasaan,
pengembangan dan penerapan teknologi diperlukan keberlanjutan (continuity). Jangan sampai
pengalaman pahit yang menimpa industri dirgantara dan industri strategis pada
umumnya ‐‐ sebagaimana saya sampaikan di atas ‐‐ terulang lagi di masa depan!
Jangan sampai karena eufori reformasi
atau karena pertimbangan politis sesaat kita tega “menghabisi” karya nyata anak
bangsa yang dengan penuh ketekunan dan semangat patriotisme tinggi yang didedikasikan
bagi kejayaan masa depan Indonesia.
Para hadirin yang berbahagia
Kita dapat bersyukur bahwa bangsa
Indonesia adalah suatu bangsa yang multi etnik dan sangat peka terhadap
keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Allah subhana
wata’alla. Oleh karena itu PANCASILA adalah
falsafah hidup nyata bangsa ini yang dari masa ke masa selalu disesuaikan
dengan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dan
peradaban yang dikembangkan dan
diterapkan oleh kita bersama.
Dapat kita catat, bahwa saat ini
bangsa kita sudah keluar dari “eufori kebebasan” dan mulai kembali ke
“kehidupan nyata” antara bangsa bangsa dalam era globalisasi. Persaingan
menjadi lebih ketat dan berat.
Peran SDM lebih menentukan dan
informasi sangat cepat mengalir. Kita menyadari bahwa tidak semua informasi
menguntungkan peningkatan produktivitas dan daya saing SDM Indonesia. Budaya
masyarakat lain dapat memasuki ruang hidup keluarga. Kita harus meningkatkan “Ketahanan
Budaya” sendiri untuk mengamankan kualitas iman dan taqwa (Imtak) yang
melengkapi pemahaman ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) yang diberikan
dalam sistem pendidikan dan pembudayaan kita, yang menentukan perilaku,
produktivitas dan daya saing Generasi Penerus.
Kita sudah Merdeka 67 Tahun, sudah
Melek Teknologi 17 Tahun, sudah Bebas 14 Tahun. Kita sadar akan keunggulan
masyarakat madani yang pluralistik, sadar akan kekuatan lembaga penegak hukum
(Yudikatif) dan informasi yang mengacu pada nilai‐nilai PANCASILA dan UUD‐45 yang
terus disesuaikan dengan perkembangan pembangunan nasional, regional dan
global.
Saya akhiri sambutan ini dengan
ucapan:
Þ REBUT KEMBALI JAM KERJA!
ÞWUJUDKAN KEMBALI KARYA NYATA YANG PERNAH KITA MILIKI UNTUK PEMBANGUNAN
PERADABAN INDONESIA!
Þ BANGKITLAH, SADARLAH ATAS KEMAMPUANMU!
Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa
barakaatuh
Bandung, 10 Augustus 2012
Bacharuddin Jusuf Habibie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar